MAS KUMITIR & KI WONG ALUS
PRESIDEN TELAH KEHILANGAN PERSPEKTIF BHINEKA TUNGGAL IKA DAN MEMAKSAKAN SISTEM DEMOKRASI BARAT YANG BERTENTANGAN DENGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA. DEMOKRASI PANCASILA TIDAK PERNAH MENGENAL SISTEM OLIGARKI. DEMOKRASI PANCASILA DIBANGUN BERDASARKAN ATAS PENGHARGAAN YANG SETINGGI-TINGGINYA PADA ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA MASYARAKAT. UNTUK MEMBANGUN BANGSA INI, ADA HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN, SALAH SATUNYA ADALAH KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN DAERAH YAITU PRINSIP BHINEKA TUNGAL IKA YANG TERMAKTUB DALAM PASAL 18 A UUD 1945. DENGAN DASAR KEBHINEKAAN, KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN INILAH MUNCULNYA DAERAH ISTIMEWA ACEH, YOGYAKARTA DAN OTONONOMI KHUSUS PAPUA.
Hari Jumat, 26 November 2010 kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden. Agendanya, mendengarkan pemaparan dari Mendagri Gamawan Fauzi tentang perkembangan empat RUU yang akan segera dirampungkan oleh pemerintah, di antaranya RUU Keistimewaan DIY yang telah lama terbengkalai. Ternyata rapat itu menuai kontroversi saat SBY mengungkapkan pandangannya mengenai RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam sambutannya Presiden menyebut tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. “Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” kata Presiden SBY. SBY lalu menjelaskan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karenanya terkait penggodokan RUU Keistimewaan DIY, pemerintah akan memprosesnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan satu UU yang tepat.
Pendapat Presiden ini tak pelak menimbulkan kontroversi. Partai oposisi PDIP, melalui kadernya Ganjar Pranowo menyebut ungkapan Presiden ini adalah indikasi keinginan SBY untuk melaksanaan pilkada di DIY secara langsung, tidak seperti saat ini yang dilakukan penunjukan langsung kepada Sultan Yogyakarta. “Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY,” kata Ganjar Pranowo.
Ganjar menjelaskan, penetapan Gubernur DIY seperti yang berlangsung sampai saat ini adalah bagian dari kekhususan dan keragaman daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945. Kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.
Mendapat sorotan, pernyataan SBY tersebut coba untuk dijelaskan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai. Menurut pria asli Papua ini, Presiden SBY menghargai keistimewaan DIY. Velix meminta bentuk keistimewaan DIY tidak dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja.
“Karena itu, pernyataan Presiden SBY yang lalu perlu dimaknai sebagai upaya pengakuan dan penghormatan warisan tradisi, kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam konteks demokrasi yang sedang kita konsolidasikan dewasa ini,” jelasnya.
Sementara keluarga Sultan Hamengkubuwono X bersuara pedas menanggapi pendapat Presiden SBY. Adik Sultan, GBPH Joyokusumo mempertanyakan pernyataan SBY. Penyataan SBY dinilai bisa menhancurkan kesatuan NKRI karena menafikan aspek historis. “Dengan pernyataan yang tidak punya dasar sejarah, konstitusi, dan demokrasi itu, sadar atau tidak sadar, SBY mau menghancurkan NKRI,” kata Joyokusumo.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengibaratkan kondisi keistimewaan Yogyakarta sebagai bentuk monarki adalah sebuah pernyataan yang ahistoris. Selama ini Sultan sebagai kepala daerah bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjalankan tugas, peran, dan fungsi sebagaimana kepala daerah lainnya. Bahkan kewajibannya. Perangkat DIY sebagai provinsi pun tidak berbeda, ada sekretaris daerah, kepala dinas, pengawasan DPRD, adanya peraturan daerah sebagai produk legislatif, dan penyusunan APBD. Jadi, DIY sama sekali bukan sebuah ‘monarki’ DIY, tapi sebuah provinsi.
Yang berbeda di DIY hanyalah penetapan kepala daerah. Namun, bukankah pengaturan tentang kepala daerah pun sudah mendapat legitimasi oleh negara? Jika pernyataan SBY bermaksud mempersoalkan tata cara penetapan kepala daerah, maka pernyataan tersebut berdampak jauh dalam konteks NKRI karena pernyataan tentang monarki seolah menempatkan DIY bukan bagian dari NKRI.
Pernyataan SBY tentang keistimewaan DIY, seolah mengabaikan pesan konstitusi tentang kekhususan dan keistimewaan. Mengibaratkan keberadaan keistimewaan DIY sebagai monarki dalam NKRI tentu saja mengganggu spirit NKRI dimana DIY adalah salah satu provinsi dalam negara Indonesia. Ada sejarah yang telah kita lalui dimana memang menghendaki Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sebutan sistem monarki yang dikemukakan SBY dengan begitu juga dianggap terlalu menyederhanakan persoalan dalam memandang sistem kerajaan dan politik modern.
AA GN Ari Dwipayana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menjelaskan yang terjadi di DIY bukanlah sistem monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat. Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (Yogyakarta).
Menurut dia, Yudhoyono terlalu terpaku pada makna keistimewaan sebatas perekrutan kepala daerah. Akibatnya, dengan mudah menyebut sistem pemerintahan DIY sebagai sistem monarki. Masih banyak isu keistimewaan lain yang harus mendapat perhatian, seperti isu pertanahan dan tata ruang wilayah.
Ari juga mengkritisi pernyataan Yudhoyono yang menyebutkan sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi. Menurut dia, pengalaman sejumlah negara, sistem monarki bisa berdampingan dengan politik modern. Misalnya, di Inggris, Belanda, dan Malaysia. ”Tidak seharusnya monarki ditabrakkan dengan demokrasi,” katanya.
Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, mengatakan, dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah menafsirkan keistimewaan DIY,” ujarnya.
Sejarah, menurut Handoyo, harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY, katanya, muncul karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VII.
Hak itu diberikan karena Keraton Ngayogyakarto dan Pakualaman merupakan daerah merdeka yang memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia. ”Kontrak politik antara DIY dan Indonesia itu mestinya tidak diingkari. Hak privilege semacam itu bahkan juga diakui oleh Pemerintah Belanda dan Jepang yang pernah menduduki wilayah Indonesia,” kata Handoyo menambahkan.
Anggota Komisi II DPR Akbar Faisal menyebut SBY tak paham substansi kesitimewaan Yogyakarta. “Bagi saya pribadi Presiden keliru. Karena (keistimewaan) itu ada dalam undang-undang,” ujarnya. Dikatakannya, Sultan menyadari bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden. Menurut Sultan, Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. “Yang saya agak bingung dari istilah monarki yang dikatakan, Presiden seperti mendramatisir kesitimewaan Yogyakarta. Padahal banyak daerah yang diperlakukan sejenis,” jelasnya.
“Keistimewaan DIY lebih cenderung pada sejarah dan budaya yang melekat pada Yogyakarta. Jadi, saya kira wajar jika Sultan dan rakyat Yogyakarta tersinggung dengan pernyataan Presiden itu,” imbuh dia. Tak hanya itu, lanjut Akbar, statement Presiden soal monarki ini juga dianggap cukup merugikan. “Karena seakan-akan ini suara Jakarta. Padahal DPR tidak sepakat dengan ini,” katanya.
APA KATA SRI SULTAN?
”Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali,” Demikianlah pernyataan Sri sultan Hamengkubuwono X dalam jumpa pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta. Pernyataan Sultan yang juga gubernur DIY itu agak terasa keras dan ditujukan langsung kepada SBY.
Sumber petaka tidak harmonisnya hubungan Yogya dengan pemerintah pusat sebenarnya berpuncak dari RUU Keistimewaan Yogyakarta yang tak pernah terselesaikan, dalam RUU tersebut pemerintah pusat berkeinginan agar Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat, sama seperti apa yang diberlakukan terhadap daerah propinsi lainnya. Draft RUU tersebut hingga hari ini tak kunjung diajukan oleh pemerintah ke DPR, hingga membuat nasib Yogyakarta menjadi terkatung-katung tanpa ketentuan yang jelas. Dan ini merupakan bentuk keteledoran pemerintah pusat terhadap daerah istimewa yogyakarta.
Tiba-tiba muncul pernyataan presiden yang seolah-olah Yogyakarta dengan segenap keistimewaannya selama ini dianggap sebagai sebuah pemerintah daerah yang dijalankan dengan sistem monarki dan bertabrakan dengan sistem demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
Sultan sendiri membantah bahwa tidak ada perbedaan antara pemerintahan DI Yogyakarta dan propinsi lainnya, Gubernur diangkat bukan melalui sistem baku yang berlaku dikraton, tapi menurut tatanan yang diatur oleh pemerintah disaat itu. Namanya diusulkan oleh DPRD dan diangkat menjadi Gubernur dengan SK dari presiden yang waktu itu dijabat oleh Habibie, dan dilanjutkan pula oleh Megawati, sedikitpun tak ada campur tangan kraton dan kerabatnya. Namun secara kebetulan saat ini Gubernurnya dijabat oleh seorang Sultan.
KEHILANGAN PERSPEKTIF
Pengamat politik Asmari Rahman menilai demokrasi itu penting untuk membangun bangsa ini, tapi bukan berarti segala-galanya, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam menjalankannya dinegeri ini, salah satunya adalah kekhususan dan keragaman daerah yang selalu kita sebut dengan istilah Bhineka Tungal Ika dan ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam pasal 18 A UUD 1945. Dengan dasar kebhinekaan, kekhususan dan keragaman inilah munculnya Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta dan Otononomi khusus Papua.
Di Aceh dan Otonomi khusus untuk Papua memang tidak terkait dengan apa yang disebut dengan Monarkhi, tapi jika negara ini ingin dijalankan menurut faham Demokrasi secara utuh maka hukum yang diberlakukan di Aceh adalah hukum nasional, dan tidak ada lagi istilah Partai Lokal, demikian juga halnya dengan istilah Otsus Papua, jika Papua mendapat perlakuan khusus maka seluruh Propinsi juga harus diberikan Otononomi khusus, bila perlu kita anut sistem federal sekalian.
Jika presiden memaknai Demokrasi itu dengan pengangkatan kepala daerah melalui pilihan rakyat bagaimana dengan jabatan walikota yang ada di DKI, mereka ini semuanya diangkat bukan dipilih, padahal semua bupati dan walikota yang ada dinegeri ini dipilih langsung oleh rakyat, mengapa walikota di DKI Jakarta tidak ?
Khusus mengenai urusan DI Yogyakarta ini, sebaiknya presiden selaku kepala pemerintahan memanggil Sultan sebagai Gubernur, bicara face to face untuk membahas persoalan ini terutama soal RUU keistimewaan Yogyakarta yang sudah lama terbengkalai, sehingga ada solusi yang terbaik bagi penyelesaian darft RUU tersebut, dan tidak menjadi topik pembahasan yang bertele-tele serta menjadi perdebatan publik yang tak berkesudahan.
Dan satu hal yang perlu dicatat adalah jika Gubernur DI Yogyakarta dipilih secara langsung pada saat ini maka tak dapat diragukan lagi bahwa pilihan rakyat adalah Sri Sultan HB X, bahkan mungkin jika diberikan kesempatan secara terbuka bertarung dalam pemilihan presiden saya perkirakan Sri Sultan Hamengkubuwono akan mengungguli calon lainnya, termasuk SBY sendiri. Intinya adalah bukan soal monarki atau tidaknya DI Yogyakarta, tapi bagaimana kita memaknai dan menghargai kebhinekaan dan keberagaman berbagai daerah yang ada di Nusantara ini, dan sudah sejak lama Sri Sultan HB X menunggu RUU keistimewaan Yogyakarta tapi tak kunjung selesai juga sehingga pernah terlintas dibenak Sultan untuk menanyakannya secara langsung kepada rakyat lewat referendum.
Demokrasi tetap penting untuk membangun negeri ini, tapi jangan pernah demokrasi ala barat. Demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi ala Barat sudah terbukti tidak sempurna sebagaimana yang dibayangkan. Buktinya Bupati dan Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat belum tentu menjadi pemimpin yang baik yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya, bahkan tak sedikit diantaranya menjadi pesakitan dikursi terdakwa karena melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bahan informasi dihimpun dari berbagai sumber: koran tempo, kompas, detik.com, vivanews, dan lainnya @@@
PRESIDEN TELAH KEHILANGAN PERSPEKTIF BHINEKA TUNGGAL IKA DAN MEMAKSAKAN SISTEM DEMOKRASI BARAT YANG BERTENTANGAN DENGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA. DEMOKRASI PANCASILA TIDAK PERNAH MENGENAL SISTEM OLIGARKI. DEMOKRASI PANCASILA DIBANGUN BERDASARKAN ATAS PENGHARGAAN YANG SETINGGI-TINGGINYA PADA ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA MASYARAKAT. UNTUK MEMBANGUN BANGSA INI, ADA HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN, SALAH SATUNYA ADALAH KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN DAERAH YAITU PRINSIP BHINEKA TUNGAL IKA YANG TERMAKTUB DALAM PASAL 18 A UUD 1945. DENGAN DASAR KEBHINEKAAN, KEKHUSUSAN DAN KERAGAMAN INILAH MUNCULNYA DAERAH ISTIMEWA ACEH, YOGYAKARTA DAN OTONONOMI KHUSUS PAPUA.
Hari Jumat, 26 November 2010 kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden. Agendanya, mendengarkan pemaparan dari Mendagri Gamawan Fauzi tentang perkembangan empat RUU yang akan segera dirampungkan oleh pemerintah, di antaranya RUU Keistimewaan DIY yang telah lama terbengkalai. Ternyata rapat itu menuai kontroversi saat SBY mengungkapkan pandangannya mengenai RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam sambutannya Presiden menyebut tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. “Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” kata Presiden SBY. SBY lalu menjelaskan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karenanya terkait penggodokan RUU Keistimewaan DIY, pemerintah akan memprosesnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan satu UU yang tepat.
Pendapat Presiden ini tak pelak menimbulkan kontroversi. Partai oposisi PDIP, melalui kadernya Ganjar Pranowo menyebut ungkapan Presiden ini adalah indikasi keinginan SBY untuk melaksanaan pilkada di DIY secara langsung, tidak seperti saat ini yang dilakukan penunjukan langsung kepada Sultan Yogyakarta. “Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY,” kata Ganjar Pranowo.
Ganjar menjelaskan, penetapan Gubernur DIY seperti yang berlangsung sampai saat ini adalah bagian dari kekhususan dan keragaman daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A ayat 1 UUD 1945. Kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.
Mendapat sorotan, pernyataan SBY tersebut coba untuk dijelaskan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai. Menurut pria asli Papua ini, Presiden SBY menghargai keistimewaan DIY. Velix meminta bentuk keistimewaan DIY tidak dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja.
“Karena itu, pernyataan Presiden SBY yang lalu perlu dimaknai sebagai upaya pengakuan dan penghormatan warisan tradisi, kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam konteks demokrasi yang sedang kita konsolidasikan dewasa ini,” jelasnya.
Sementara keluarga Sultan Hamengkubuwono X bersuara pedas menanggapi pendapat Presiden SBY. Adik Sultan, GBPH Joyokusumo mempertanyakan pernyataan SBY. Penyataan SBY dinilai bisa menhancurkan kesatuan NKRI karena menafikan aspek historis. “Dengan pernyataan yang tidak punya dasar sejarah, konstitusi, dan demokrasi itu, sadar atau tidak sadar, SBY mau menghancurkan NKRI,” kata Joyokusumo.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengibaratkan kondisi keistimewaan Yogyakarta sebagai bentuk monarki adalah sebuah pernyataan yang ahistoris. Selama ini Sultan sebagai kepala daerah bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjalankan tugas, peran, dan fungsi sebagaimana kepala daerah lainnya. Bahkan kewajibannya. Perangkat DIY sebagai provinsi pun tidak berbeda, ada sekretaris daerah, kepala dinas, pengawasan DPRD, adanya peraturan daerah sebagai produk legislatif, dan penyusunan APBD. Jadi, DIY sama sekali bukan sebuah ‘monarki’ DIY, tapi sebuah provinsi.
Yang berbeda di DIY hanyalah penetapan kepala daerah. Namun, bukankah pengaturan tentang kepala daerah pun sudah mendapat legitimasi oleh negara? Jika pernyataan SBY bermaksud mempersoalkan tata cara penetapan kepala daerah, maka pernyataan tersebut berdampak jauh dalam konteks NKRI karena pernyataan tentang monarki seolah menempatkan DIY bukan bagian dari NKRI.
Pernyataan SBY tentang keistimewaan DIY, seolah mengabaikan pesan konstitusi tentang kekhususan dan keistimewaan. Mengibaratkan keberadaan keistimewaan DIY sebagai monarki dalam NKRI tentu saja mengganggu spirit NKRI dimana DIY adalah salah satu provinsi dalam negara Indonesia. Ada sejarah yang telah kita lalui dimana memang menghendaki Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sebutan sistem monarki yang dikemukakan SBY dengan begitu juga dianggap terlalu menyederhanakan persoalan dalam memandang sistem kerajaan dan politik modern.
AA GN Ari Dwipayana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menjelaskan yang terjadi di DIY bukanlah sistem monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat. Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (Yogyakarta).
Menurut dia, Yudhoyono terlalu terpaku pada makna keistimewaan sebatas perekrutan kepala daerah. Akibatnya, dengan mudah menyebut sistem pemerintahan DIY sebagai sistem monarki. Masih banyak isu keistimewaan lain yang harus mendapat perhatian, seperti isu pertanahan dan tata ruang wilayah.
Ari juga mengkritisi pernyataan Yudhoyono yang menyebutkan sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi. Menurut dia, pengalaman sejumlah negara, sistem monarki bisa berdampingan dengan politik modern. Misalnya, di Inggris, Belanda, dan Malaysia. ”Tidak seharusnya monarki ditabrakkan dengan demokrasi,” katanya.
Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, mengatakan, dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah menafsirkan keistimewaan DIY,” ujarnya.
Sejarah, menurut Handoyo, harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY, katanya, muncul karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VII.
Hak itu diberikan karena Keraton Ngayogyakarto dan Pakualaman merupakan daerah merdeka yang memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia. ”Kontrak politik antara DIY dan Indonesia itu mestinya tidak diingkari. Hak privilege semacam itu bahkan juga diakui oleh Pemerintah Belanda dan Jepang yang pernah menduduki wilayah Indonesia,” kata Handoyo menambahkan.
Anggota Komisi II DPR Akbar Faisal menyebut SBY tak paham substansi kesitimewaan Yogyakarta. “Bagi saya pribadi Presiden keliru. Karena (keistimewaan) itu ada dalam undang-undang,” ujarnya. Dikatakannya, Sultan menyadari bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden. Menurut Sultan, Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. “Yang saya agak bingung dari istilah monarki yang dikatakan, Presiden seperti mendramatisir kesitimewaan Yogyakarta. Padahal banyak daerah yang diperlakukan sejenis,” jelasnya.
“Keistimewaan DIY lebih cenderung pada sejarah dan budaya yang melekat pada Yogyakarta. Jadi, saya kira wajar jika Sultan dan rakyat Yogyakarta tersinggung dengan pernyataan Presiden itu,” imbuh dia. Tak hanya itu, lanjut Akbar, statement Presiden soal monarki ini juga dianggap cukup merugikan. “Karena seakan-akan ini suara Jakarta. Padahal DPR tidak sepakat dengan ini,” katanya.
APA KATA SRI SULTAN?
”Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali,” Demikianlah pernyataan Sri sultan Hamengkubuwono X dalam jumpa pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta. Pernyataan Sultan yang juga gubernur DIY itu agak terasa keras dan ditujukan langsung kepada SBY.
Sumber petaka tidak harmonisnya hubungan Yogya dengan pemerintah pusat sebenarnya berpuncak dari RUU Keistimewaan Yogyakarta yang tak pernah terselesaikan, dalam RUU tersebut pemerintah pusat berkeinginan agar Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat, sama seperti apa yang diberlakukan terhadap daerah propinsi lainnya. Draft RUU tersebut hingga hari ini tak kunjung diajukan oleh pemerintah ke DPR, hingga membuat nasib Yogyakarta menjadi terkatung-katung tanpa ketentuan yang jelas. Dan ini merupakan bentuk keteledoran pemerintah pusat terhadap daerah istimewa yogyakarta.
Tiba-tiba muncul pernyataan presiden yang seolah-olah Yogyakarta dengan segenap keistimewaannya selama ini dianggap sebagai sebuah pemerintah daerah yang dijalankan dengan sistem monarki dan bertabrakan dengan sistem demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
Sultan sendiri membantah bahwa tidak ada perbedaan antara pemerintahan DI Yogyakarta dan propinsi lainnya, Gubernur diangkat bukan melalui sistem baku yang berlaku dikraton, tapi menurut tatanan yang diatur oleh pemerintah disaat itu. Namanya diusulkan oleh DPRD dan diangkat menjadi Gubernur dengan SK dari presiden yang waktu itu dijabat oleh Habibie, dan dilanjutkan pula oleh Megawati, sedikitpun tak ada campur tangan kraton dan kerabatnya. Namun secara kebetulan saat ini Gubernurnya dijabat oleh seorang Sultan.
KEHILANGAN PERSPEKTIF
Pengamat politik Asmari Rahman menilai demokrasi itu penting untuk membangun bangsa ini, tapi bukan berarti segala-galanya, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam menjalankannya dinegeri ini, salah satunya adalah kekhususan dan keragaman daerah yang selalu kita sebut dengan istilah Bhineka Tungal Ika dan ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam pasal 18 A UUD 1945. Dengan dasar kebhinekaan, kekhususan dan keragaman inilah munculnya Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta dan Otononomi khusus Papua.
Di Aceh dan Otonomi khusus untuk Papua memang tidak terkait dengan apa yang disebut dengan Monarkhi, tapi jika negara ini ingin dijalankan menurut faham Demokrasi secara utuh maka hukum yang diberlakukan di Aceh adalah hukum nasional, dan tidak ada lagi istilah Partai Lokal, demikian juga halnya dengan istilah Otsus Papua, jika Papua mendapat perlakuan khusus maka seluruh Propinsi juga harus diberikan Otononomi khusus, bila perlu kita anut sistem federal sekalian.
Jika presiden memaknai Demokrasi itu dengan pengangkatan kepala daerah melalui pilihan rakyat bagaimana dengan jabatan walikota yang ada di DKI, mereka ini semuanya diangkat bukan dipilih, padahal semua bupati dan walikota yang ada dinegeri ini dipilih langsung oleh rakyat, mengapa walikota di DKI Jakarta tidak ?
Khusus mengenai urusan DI Yogyakarta ini, sebaiknya presiden selaku kepala pemerintahan memanggil Sultan sebagai Gubernur, bicara face to face untuk membahas persoalan ini terutama soal RUU keistimewaan Yogyakarta yang sudah lama terbengkalai, sehingga ada solusi yang terbaik bagi penyelesaian darft RUU tersebut, dan tidak menjadi topik pembahasan yang bertele-tele serta menjadi perdebatan publik yang tak berkesudahan.
Dan satu hal yang perlu dicatat adalah jika Gubernur DI Yogyakarta dipilih secara langsung pada saat ini maka tak dapat diragukan lagi bahwa pilihan rakyat adalah Sri Sultan HB X, bahkan mungkin jika diberikan kesempatan secara terbuka bertarung dalam pemilihan presiden saya perkirakan Sri Sultan Hamengkubuwono akan mengungguli calon lainnya, termasuk SBY sendiri. Intinya adalah bukan soal monarki atau tidaknya DI Yogyakarta, tapi bagaimana kita memaknai dan menghargai kebhinekaan dan keberagaman berbagai daerah yang ada di Nusantara ini, dan sudah sejak lama Sri Sultan HB X menunggu RUU keistimewaan Yogyakarta tapi tak kunjung selesai juga sehingga pernah terlintas dibenak Sultan untuk menanyakannya secara langsung kepada rakyat lewat referendum.
Demokrasi tetap penting untuk membangun negeri ini, tapi jangan pernah demokrasi ala barat. Demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi ala Barat sudah terbukti tidak sempurna sebagaimana yang dibayangkan. Buktinya Bupati dan Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat belum tentu menjadi pemimpin yang baik yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya, bahkan tak sedikit diantaranya menjadi pesakitan dikursi terdakwa karena melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bahan informasi dihimpun dari berbagai sumber: koran tempo, kompas, detik.com, vivanews, dan lainnya @@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar